Untukmu yang Namanya Terlanjur Kusebut Dalam Doa
11.29.00 |
Aku yang sedari
dulu terlalu rapat menutup hati, sebelum kamu datang dan dengan berani
mengajakku membukanya. Aku yang sedari awal tahu bahwa semestinya
harapan itu tak harus muncul di benakku. Meski kini aku berkeping,
darimu aku belajar melepaskan. Aku gantungkan takdirmu dan takdirku
hanya pada Tuhan.
Aku hanya tidak ingin jatuh terlalu jauh dalam cinta yang belum berhak
kurasakan. Tapi saat kau melepaskan, saat itulah aku merasa jatuh
kedalam. Meski hati keras menolak saat kau hancurkan setiap detil
harapan, sekali pada akhirnya aku sadar bahwa bukan salahmu jika harapan
itu ada. Aku yang terlanjur membiarkan benih harapan itu tumbuh dengan
pupuk harapan yang kau tebar.
Harapan itu tumbuh dengan subur sebelum kau susutkan dengan kata
perpisahan secara tiba-tiba. Kau tahu aku tidak bisa membalas sepatahpun
saat itu, bahkan menitikkan setetes tanda perih pun aku lupa. Sungguh
kalimat terakhir yang kau ucap menjadi pembuyar nafsuku saat itu. Hanya
saja aku tidak punya banyak waktu untuk lebih merasakannya, kubiarkan
begitu saja.
Ikhlas? Tentu saja belum.
Aku hanya mencoba menerima keputusanmu dan belajar berlapang dada.
Belajar merelakanmu tentu tidaklah mudah, bagaimana mungkin aku
melepaskan nama yang selalu kusebut dalam doa. Nama yang belakangan ini
berusaha untuk menerobos dinding tebal di hatiku hingga dengan berani
kubawa namamu pada-Nya.
2. Mungkin Tuhan Belum Mengizinkan
Sebanyak apapun doa yang kupanjatkan, sesering apapun namamu kurapalkan
dalam setiap sujudku, jika Tuhan belum meridhoi kita bisa apa? Mungkin
belum saatnya kita dipertemukan, mungkin waktu yang belum tepat untuk
kita bersanding bersama, atau mungkin Tuhan punya rencana lebih apik
dari yang kita susun berdua, entahlah. Tidak ada yang bisa memastikan
janji seseorang pada siapapun. Yang harus kulakukan hanya yakin pada
Tuhanku, hanya Tuhan.
"Bukankah janji-Nya lebih pasti dibanding janji makhluk-Nya?"
Tapi tetap saja aku hanyalah seorang wanita, makhluk paling berperasaan
sedunia. Meski dengan elok menahan harapan itu muncul, pada akhirnya
akulah yang paling mengharapkan harapan itu agar menjadi nyata.
3. Atau Mungkin Tuhan Tidak Akan Mengizinkan
Entahlah. Tapi dibanding berandai-andai suatu saat Tuhan akan
mempersatukan, kupikir akan lebih baik jika tidak menciptakan imaji
meski secuil angan. Bukan tak berani bermimpi, hanya saja keinginan itu
tidak akan terjadi jika impian berdua dilakukan oleh sebelah hati.
4. Aku Berusaha dengan Caraku
Bukan salah siapa-siapa jika kini kita belum bisa bersama, mungkin waktu
yang akan mengobati perih saat ini. Meski namamu tidak lagi kusebut
dalam doaku, aku
tetap berharap yang terbaik untukmu. Jika nanti Tuhan mengizinkan
namamu dan namaku tertulis beriringan, mungkin kaulah obat perihku di
masa mendatang. Namun jika kita tetap di jalan yang berlainan, tentulah
rencana serta jawaban Tuhan lebih indah.
“biarkan saja angin berhembus sebagaimana harusnya”
5. Merelakanmu Sedang Ku Usahakan Sambil Mendekatkan Diri dengan Tuhan
Jauh sebelum aku mengenalmu, aku sudah lebih dulu belajar mengenal
penciptaku. Keputusanmu untuk pergi kuyakini sebagai campur tangan Tuhan
yang bahkan tak dapat kukendalikan dan kutolak. Melepaskanmu mungkin
saja, namun merelakanmu adalah hal yang berbeda. Tapi setidaknya patah
hati memberikanku ruang lebih untuk berintrospeksi.
Aku harus lebih bermanja diri dengan Illahi, merayu Sang Pencipta dengan
segenap iman yang tertanam di hati. Bukan lagi untuk
memperbincangkanmu, lebih dari itu aku harus memperbincangkan masa
depanku, akhirat dan duniaku.