Dengan Berpisah, Semoga Datang Seseorang yang Lebih Indah
21.08.00 |
Kamu mungkin tidak pernah mengira aku sangat terluka. Karena kepergianmu yang tiba-tiba, juga caci makimu yang tak kuduga.
Usai kepergianmu, jiwaku merasa demikian kosong. Entah mengapa aku bisa
terbawa candu bersamamu. Namun, kini komunikasi kita tak lagi seperti
dulu. Aku tak tahu apa alasanmu berlaku demikian kepadaku. Dan siang itu
di akhir pertemuan kita, Kupandang sorot matamu yang seolah bahagia
namun sendu di dalamnya. Dengan mata yang digenangi air mata, aku
bertanya-tanya di hadapanmu. Mengapa kepergian lelaki sepertimu bisa
membuatku demikian hancur? Mengapa aku harus terlambat hadir di hidupmu
ketika kamu sudah bersamanya? Mengapa harus kau ucapkan perpisahan
ketika aku mulai nyaman dengan hubungan kita yang kau sembunyikan?
Mengapa kau ajari aku bahagia dan kau rangkai kenangan manis bersama namun pada akhirnya kau memilih dia?
Aku memberanikan diri menatap matamu siang itu. Aku seperti ingin
berteriak sekencang-kencangnya bahwa aku mengharapkanmu pulang. Lebih
lekat aku menatap, aku ingin menyadarkan diriku sendiri bahwa orang yang
siang itu tersenyum di depanku bukanlah sosokmu yang dulu. Namun segala
keinginanku fatamorgana. Kamu mulai berbicara, memintaku berhenti
menangis, dan perlahan menjelaskan mengapa kamu memilih pergi. Katamu,
kita tidak bisa melangkah bersama lagi, dan bukan aku yang salah ketika
kamu memutuskan untuk mengakhiri.
Namun dengan segala penjelasanmu mengapa aku masih bertanya-tanya dan anganku selalu berharap kamu akan pulang?
Aku melihat raut wajahmu lagi dan lagi. Aku tau pada dasarnya salah satu
dari kita tak ingin hubungan ini berakhir. Namun, kamulah disini yang
berperan sebagai tokoh utama. Di persimpangan jalan yang menuntutmu
harus memilih aku atau dia, akhirnya kamu memilih dia. Katamu,
kebersamaan kita tidak akan membuatku bahagia. Ada hati yang demikian
hancur jika kamu memilihku. Ada sesuatu yang tidak akan pernah bisa
membuat kita menyatu. Akan ada luka baru yang lebih menyakitkan daripada
kehilangan dirimu. Dengan berbagai pertimbangan itu, kamu memilih
meninggalkanku. Aku bisa apa?
Bukan hal yang mudah bagiku, menerima kepergianmu. Namun aku akan belajar untuk itu.
Aku butuh waktu untuk menata hati. Menenangkan batin bahwa aku perlu
sadar kebersamaan kita tak akan pernah ada lagi. Aku harus paham bahwa
perasaan sahabatku lebih utama dibanding lukaku ditinggalkan olehmu. Aku
harus siap menerima segala bentuk caci dan hujat ketika orang-orang di
luar sana tau aku pernah mengukir kisah keliru bersamamu yang disayang
sahabatku. Entah siapa pilihanmu nanti, dia, sahabatku, ataupun orang
baru, aku akan belajar menerima.
Aku menuntun diriku sendiri untuk tidak lagi mengingatmu, menghapus semua yang berkaitan denganmu, bahkan belajar membencimu.
Siang itu, setelah cukup mendengar segala penjelasanmu, aku menyuruhmu
berlalu dari hadapanku.Namun baru beberapa langkah jalanmu
meninggalkanku, aku memanggilmu. Aku masih ingin melihat dirimu yang
pernah menjadi satu-satunya bagiku. Kamu menghampiriku. Aku ingin
menahanmu untuk selalu berada di dekatku. Namun kamu kembali
menjelaskan, bahwa yang terbaik dari hubungan kita adalah berpisah. Aku
menginginkan satu potret kita berdua, sebagai kenangan bahwa pernah ada
kisah diantara kita. Senyum kita abadi dalam foto itu, meskipun batin
kita demikian pilu.
Kamu berkata harus pergi, aku hanya terdiam melihatmu berlalu kian jauh.
Pertemuan siang itu menjadi pertemuan terakhir kita. Tak ada lagi
kabarmu, dan takkan ada lagi dirimu di hidupku. Kamu sengaja tidak
memberiku kesempatan untuk melihat foto kita siang itu. Kamu
menginginkanku melupakan semuanya. Aku merasa kamu sangat jahat dan
semuanya begitu berat. Namun, aku perlu tau. Kamu hanya tidak ingin
melihatku demikian hancur karena selalu mengenang kebersamaan kita yang
diharuskan menjumpai perpisahan.
Kita sama-sama menata hati. Mengikhlaskan diri bahwa suatu saat satu sama lain akan menemukan pengganti.
hipwee.com