Kita Memang Berbeda Agama. Tapi Mari Bahagia, Walau Ini Hanya Sementara
21.51.00 |
Lagi-lagi kamu menanyakan
pertanyaan yang sama. Ah, seandainya kamu tahu, pertanyaan itu selalu
ingin kuhindari. Bukannya apa-apa, selama ini, aku sudah terlalu sering
mempertanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri. Di setiap waktu
luang yang kupunya, di sela-sela bahagia dan cemas yang terjadi
bersamaan, pertanyaan itu selalu muncul memberati kepalaku.
Jika nanti saatnya tiba, hubungan ini hendak kita bawa ke mana?
Tentu saja itu bukan pertanyaan retoris untuk sekadar meminta kepastian,
seperti pasangan remaja yang takut tak diakui oleh satu sama lain. Kita
sama-sama tahu bahwa hubungan ini punya masalah yang sangat besar,
terkait soal perbedaan. Aku dan kamu, kita berbeda. Bukan hanya
perbedaan pendapat tentang hal-hal kecil, tapi mereka bilang Tuhan kita
berbeda.
Sedari awal bertemu, aku tahu kita berbeda. Seharusnya kita sudah
paham dan tak memaksa. Tapi mengapa sulit mengendalikan sebuah rasa?
Aku tak pernah menyangkal bahwa kita berbeda. Aku dan kamu sudah
sama-sama tahu sejak awal. Tanpa diperingatkan oleh banyak orang seperti
yang kita alami dulu, aku dan kamu sudah sama-sama tahu bahwa masa
depan kita mungkin akan mengalami kesulitan. Memang betul. Aku tahu,
jika kita benar-benar bijak, seharusnya kita tak pernah mencoba.
Sebab barangkali di depan sana, luka yang sangat dalam sudah menunggu
untuk kita rasakan. Jika di tanya, mungkin jawaban kita sama, bahwa
jatuh cinta satu sama lain bukanlah hal yang kita inginkan. Namun apakah
jatuh cinta adalah sebuah pilihan? Kurasa bukan. Perasaan kita tetap
tumbuh subur tak bisa dikendalikan meski kita sama-sama ingin berhenti
sebelum terluka terlalu dalam.
Segala hiruk pikuk kehadiranmu membuatku melupakan apa itu logika.
Hingga jiwa kita yang masih muda, tergoda untuk menentang apa yang
mereka sebut berbeda.
Aku pun sempat bertanya-tanya. Kita hidup di dunia yang begitu ramai.
Ada lebih dari satu milyar penduduk dunia, yang beraneka rupanya. Tetapi
kenapa justru kepada kamu aku jatuh cinta. Kamu bukan orang yang
sempurna, aku tahu. Ada hal-hal dari dirimu yang tidak kusukai, tapi
entah kenapa selalu kumaafkan dan semakin lama justru kurindukan.
Barangkali kamu menemukan hal yang sama dalam diriku. Kamu dan segala
kelebihan dan kekuranganmu, hadir dalam hidupku lantas menjungkir
balikkan hari-hariku. Aku jadi tahu apa itu rindu, cemas, lega, marah,
gusar, takut kehilangan, dan rasa terabaikan. Ya, aku tahu. Kita adalah
dua jiwa muda yang dengan tak tahu dirinya memaksa untuk bersama dan
menentang apa yang mereka bilang berbeda.
Aku dan kamu sama-sama tahu, bahwa apa yang kita jalani ini bisa
berujung luka. Tapi kuatnya cinta membuat kita sama-sama keras kepala.
Aku dan kamu juga bukannya tidak tahu. Kita tidak senaif itu untuk
menafikan perbedaan menjadi sesuatu yang tidak akan menjadi masalah.
Bukankah sejak awal kita sudah saling mengingatkan bahwa hubungan ini
bisa berbuah luka? Tapi apa yang kita lakukan? Kita justru saling
tertawa dan bersikeras mencoba.
Kuatnya rasa yang kita rasakan membuat kita begitu keras kepala. Walau
sesungguhnya hari demi hari bahagia yang kujalani bersamamu, selalu
menyisakan pertanyaan yang tak pernah kutahu apa jawabnya: Apakah semua
ini akan berujung bahagia?
Kita bisa saja memaksa untuk terus bersama. Toh, hidup ini kita yang
menjalaninya. Tetapi bisakah kau tetap berbahagia, sementara banyak hati
yang terluka?
Tak usah pedulikan orang lain, begitu katamu dulu. Ya, memang. Kita bisa
saja menjadi anak muda masa kini yang seringnya apatis dan hanya
memikirkan diri sendiri. Toh, hidup ini kita yang menjalani. Sakit hati
ini, kita yang rasakan. Kita bisa saja mengabaikan perbedaan ini, dan
hidup bersama dengan damai dan penuh cinta, meski kita berbeda.
Tapi lantas kita sama-sama terdiam, memikirkan nurani yang memberontak
pada keputusan. Menonton film tentang cinta beda agama sudah sering kita
lakukan. Favoritmu adalah Cin(t)a, sedang favoritku adalah 3 Hati 2
Dunia 1 Cinta. Tapi inti dari keduanya sama. Apakah kita masih bisa
berbahagia jika begitu banyak orang yang terluka karena kebahagiaan kita
itu?
Aku sempat punya pertanyaan yang merisaukan. Kamu dan aku sama-sama
percaya bahwa Tuhan itu ada dan Esa. Tapi mengapa mereka menyebut kita
berbeda?
Kamu percaya Tuhan?
Tentu saja. Itu pertanyaan macam apa?
Aku juga. Tapi jika kita sama-sama percaya pada Tuhan, lantas mengapa mereka bilang kita berbeda?
Ingatkah kamu pada pertanyaan yang sempat kita ajukan beberapa waktu
yang lalu? Ya, terkadang di ujung putus asaku pada tanya yang kunjung
ada jawaban, aku mulai sedikit kurang ajar. Benakku berubah menjadi
sedikit liar, dan mempertanyakan hal-hal yang tak seharusnya.
Lantas aku juga bertanya-tanya, jika memang kita berbeda dan tidak
mungkin bersama, mengapa cinta ini memaksa hadir dan tumbuh hingga
sebegini lama?
Segala perbedaan ini memang nyata. Aku tak akan lagi mengingkarinya. Aku
dan kamu meyakini Tuhan yang berbeda. Jikalau kita sama-sama berdoa
agar hubungan ini diberi akhir yang bahagia, kita berdoa kepadaTuhan
yang berbeda. Tapi jika memang kita berbeda dan mustahil untuk bersama,
mengapa cinta ini bisa hadir dan tumbuh besar tak terkendali?
Berhari-hari pertanyaan ini menyiksaku, sayang. Aku terus-terusan
bertanya, dari mana datangnya rasa-rasa itu? Dari mana datangnya cinta?
Dan bagaimana cara menghentikannya? Aku tak pernah tahu jawabannya.
Kini aku sudah mengerti. Barangkali kita berdua, adalah dua orang
yang berbeda, yang kebetulan bertemu pada garis cinta yang sama.
Ibaratnya saat memilih sebuah film, aku penyuka film drama dengan kisah
romantis yang membuat imajinasiku melambung tinggi. Sementara kamu, kamu
penyuka film komedi yang menghibur hati dan tidak membuat sakit kepala
karena kisah-kisah drama karena hidup sendiri memang sudah drama.
Namun pada akhirnya kita bertemu di film komedi romantis, yang membuat
kita tertawa dan haru di saat yang sama. Tentu kenyataannya tidak
sesederhana itu. Tapi biarkan aku membuat analogi sederhana tentang
kita, tentang dua manusia berbeda yang kebetulan bertemu di garis cinta
yang sama.
Tapi kini aku juga mengerti, bahwa persoalan di masa depan nanti,
cinta tidak lagi hanya tentang aku dan kamu. Rela atau tidak, kita harus
menerimanya – apapun itu.
Tapi sayang, semakin lama hubungan kini kita jaga dan pelihara, kita
juga semakin mengerti bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan selain
kesenangan kita semata. Di masa depan nanti, hubungan ini akan
melibatkan banyak pihak. Pernikahan jelas hal yang paling kita inginkan.
Tetapi saat kita memperjuangkan kesenangan kita dengan menentang
kehendak semua orang, pada saat yang sama kita menyakiti semua orang
yang menyayangi kita. Hubungan ini tidak bisa dikerdilkan menjadi aku
dan kamu saja. Perbedaan yang kita tentang, akan melukai banyak orang.
Meski akhir yang bahagia belum tentu kita temui, untuk saat ini
kebersamaan layak kita nikmati. Sambil kita pikirkan apa yang akan
dilakukan selanjutnya nanti.
Membicarakan masa depan memang sedikit rumit untuk kita. Tapi rasa yang
kita miliki saat ini juga bukan bercandaan semata. Ada kala di mana kita
sama-sama lelah memikirkan masa depan, dan memilih untuk menjalani saja
apa yang ada saat ini. Tak apa sayang. Kita tak tahu apa yang akan
terjadi di depan. Toh kita masih sama-sama muda. Sementara ini, mari
kita sama-sama berbahagia, meski barangkali kita sama-sama tahu, ini tak
akan selamanya.
Kita adalah dua manusia yang dipertemukan pada cinta yang sama. Kita
adalah manusia yang sama-sama tidak tahu bagaimana takdir Tuhan, dan
terlalu percaya diri untuk menapaki apa yang kita sebut cinta. Aku tahu
barangkali ini hanya sementara.
Sebab kerikil-kerikil kecil di kaki sudah mulai terasa nyeri, dan di
depan sana, mungkin ada tembok tinggi yang menghalangi jalan kita.
Sementara ini, mari kita nikmati saja. Mari kita belajar mendewasakan
diri bersama dan menikmati tawa kita yang berharga. Tapi jika kamu
bertanya ini semua akan berujung kemana, aku juga tidak tahu.
hipwee.com